Teknologi Terbaru | Teknologi Terbaru Deepfake - Teknologi Terbaru 2 | Technology News 2 | News Technology 2

Breaking

About Me

Kamis, 11 Juli 2019

Teknologi Terbaru | Teknologi Terbaru Deepfake

Deepfake dan Masa Depan Keamanan Siber


Apa tersebut Deepfake?

Teknologi Terbaru - Deepfake ialah produk manipulasi audio dan visual secara digital yang terasa nyata dan susah untuk dijamin keasliannya. Dahulu buatan video propaganda laksana ini melulu dapat dilaksanakan oleh studio efek eksklusif Hollywood dan agensi intelijen laksana CIA, kini siapapun dapat mendownload perangkat empuk deepfake dan menciptakan video palsu yang terlihat laksana asli. Deepfake ialah produk dari software berbasis artificial intelligence (AI) yang mengonfigurasi media target dengan media yang ada guna menghasilkan konstruk menyesatkan yang dapat menipu mata audiens.

Istilah deepfake berasal dari kata “deep learning” dan “fake.” Aplikasi yang sangat populer dalam menciptakan deepfake ialah FakeApp yang terdapat secara online secara cuma-cuma dan memanfaatkan kerangka kerja TensorFlow Google. Melalui FakeApp memungkinkan siapa pun dengan pengetahuan tentang belajar untuk membuat deepfake mesin, yang beberapa profesional industri dan hiburan tim kelas dapat melakukan.

Dalam makna luas, pemalsuan yang terjadi merangkum “manipulasi digital suara, gambar, atau video guna menyamarkan sebagai seseorang atau membuatnya terlihat bahwa seseorang mengerjakan sesuatu”. Manipulasi ini dilaksanakan dengan teknik yang semakin realistis, hingga pada titik di mana semua pengamat tanpa pertolongan teknologi tidak bisa mendeteksi yang palsu.


Ketika software berkembang menjadi senjata informasi yang lebih canggih, teknologi yang lebih maju bakal mengembangkan manipulasi lebih lanjut sampai-sampai deepfake dapat mengenalkan pembunuhan karakter terhadap tokoh-tokoh politik, memeras figur pemerintahan, memindahkan perhatian media massa, mendiskreditkan lawan ideologis, mengakibatkan konflik antara masyarakat, memunculkan keraguan pada bukti yang sah, mengaburkan sumber daya penyidikan forensik atau bahkan memungut alih narasi dengan menggantikan fakta dengan ilusi manipulatif.

Artificial Intelligence dan Manipulasi Video

Deepfake memakai AI yang dikenal sebagai deep learning. Dalam permasalahan deepfake, yang digunakan ialah salah satu format deep learning di mana sepasang algoritma machine learning (ML) disandingkan di dalam suatu jaringan adversarial generatif (generative adversarial networks/GAN). Dalam jaringan itu, algoritma kesatu (generator) membuat konten menurut data sumber. Sementara algoritma kedua (discriminator) mencoba menggali konten produksi yang diciptakan oleh algoritma kesatu.

Semakin tidak sedikit kumpulan data, semakin mudah untuk si pemalsu untuk menciptakan video deepfake yang dapat dipercaya publik. Inilah sebabnya kenapa video mantan presiden dan selebritas Hollywood sudah sering dipakai pada generasi kesatu pemalsu, sebab ada ribuan rekaman video yang terdapat dan dapat diakses oleh publik.

Wajah orang yang dapat dimanipulasi dalam kepalanya sendiri, seperti video dari Presiden Donald Trump yang memiliki kebenaran evolusi iklim, atau video, CEO Facebook Mark Zuckerberg, menulis bahwa "mengontrol masa depan."

Suara manusia pun dapat ditiru dengan teknologi canggih, dengan memakai hanya sejumlah menit audio. Perusahaan Modulate AI yang berbasis di Cambridge dapat menciptakan “kulit suara” untuk pribadi yang lantas dapat dimanipulasi untuk menuliskan apapun.

Ancaman Keamanan Siber

Di luar kekhawatiran mengenai privasi dan pelecehan seksual, diduga bahwa deepfake dapat memunculkan ancaman besar untuk demokrasi dan ketenteraman suatu negara. Para hacker dapat memakai ML untuk menciptakan file gambar, audio, dan video palsu sebagai format kampanye hitam untuk lawan politik. Tentu saja kondisi ini menjadi ancaman ketenteraman siber yang merepotkan tidak sedikit negara.

Deepfake dapat dipakai untuk menghilangkan keyakinan pada pejabat dan lembaga pemerintahan, pembunuhan karakter terhadap tokoh-tokoh politik, memperburuk konflik sosial dan memanipulasi proses pemilihan umum.

Video hasil manipulasi dapat secara salah menunjukkan tentara membantai penduduk sipil, semua politisi yang menerima suap, menciptakan pernyataan rasis, skandal seks, bertemu dengan mata-mata atau mengerjakan hal-hal negatif lainnya menjelang pemilihan umum.

Kontroversi tentang deepfake menguat sesudah Presiden Donald Trump menyebarkan video manipulasi melewati laman Twitter-nya. Presiden Trump diperkirakan telah menyebarkan video yang dimanipulasi guna menipu publik dan merangsang ketegangan partisan.



"Melalui gagap Pelosi Berita Conference," tulis presiden Trump di tweet-nya, ia menemukan 96.868 31.539 retweets respon dan orang-orang seperti (yang 6 Juli 2019). Setelah dianalisis, video itu dimanipulasi dan memperlambat perkataan Pelosi yang menyerahkan kesan bahwa ia sedang mabuk atau sakit. Segera setelah diberikan secara online, video tersebut menyebar di sekian banyak  platform, mengoleksi jutaan komentar dan merangsang desas-desus mengenai kebugaran Pelosi sebagai pemimpin politik.

Segera sesudah itu, YouTube menuliskan akan menghapus video, tetapi sejumlah hari kemudian, duplikat video masih beredar di website tersebut. Twitter menampik untuk menghapus atau bahkan mengomentari video. Facebook pun menolak guna menghapus video tersebut, bahkan setelah memahami bahwa video tersebut ialah hasil manipulasi digital.


Post-Truth dan Akhir Kebenaran

Deepfake menjadi menakutkan sebab membiarkan wajah siapa pun bisa terkooptasi, dan meragukan keterampilan orang guna memercayai apa yang dilihatnya. Melalui deepfake orang-orang bisa dikorbankan secara salah dalam sebuah video skandal. Bahkan andai rekaman video tersebut lantas terbukti palsu, kehancuran pada reputasi dan nama baik korban tidak gampang untuk diperbaiki. Bahkan barangkali ada tokoh publik yang sepenuhnya imajiner, terlihat pribumi tetapi sebetulnya tidak.

Jika publik tidak bisa mendeteksi yang mana video pribumi dan palsu, maka publik bakal tidak meyakini apa yang disaksikan dan didengar. Internet ketika ini dapat memediasi masing-masing aspek kehidupan manusia, dan ketidakmampuan guna memercayai apapun yang disaksikan dapat mengarah pada akhir kebenaran.


Hal ini tidak melulu mengancam keyakinan pada sistem politik, namun dalam jangka panjang, kepercayaan manusia pada apa yang dinamakan realitas objektif. Jika publik tidak bisa menyepakati mengenai apa yang nyata dan apa yang tidak, bagaimana barangkali publik dapat memperdebatkan sebuah masalah atau keputusan?

Hal yang dipertaruhkan dalam gejala deepfake ini ialah struktur sosial di mana kita seluruh sepakat bahwa terdapat suatu format kebenaran, dan realitas sosial yang didasarkan pada keyakinan ini. Hal ini bukan masalah akhir dari kebenaran, namun akhir dari kepercayaan untuk kebenaran, yaitu timbulnya sebuah masyarakat post-truth.

Segera sesudah era disinformasi yang masif, bahkan tokoh publik yang jujur pun bakal dengan gampang didiskreditkan. Organisasi tradisional yang sebelumnya memungkinkan konsesus di masyarakat laksana pemerintah atau pers tidak bakal lagi diandalkan  sepenuhnya oleh publik. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar