Teknologi terbaru 2 | Peraturan ribetnya penghambatan Nasional Teknologi Sektor Pertanian tidak tumbuh - Teknologi Terbaru 2 | Technology News 2 | News Technology 2

Breaking

About Me

Minggu, 12 Mei 2019

Teknologi terbaru 2 | Peraturan ribetnya penghambatan Nasional Teknologi Sektor Pertanian tidak tumbuh


NERACA

Jakarta, Indonesia – Sebagai negara agraris Indonesia seharusnya menjadi negara lumbung pangan dunia. Namun karena minimnya sentuhan teknologi sektor pertanian nasional sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara impor pangan. “Kontras memang kalau melihat kondisi pangan nasional, harusnya kita sebagai negara agraris menjadi negara eksportir pangan, ini malah sebaliknya kita menjadi negara impor,” ungkap Bambang Purwantara, direktur IndoBIC, kepada wartawan sesaat setelah menghadiri acara seminar yang mengangkat tema “Status Global Komersialisasi Tanaman Biotek 2017” di Bogor, Senin, (20/08).

Ketertinggalan pangan nasional kita, sambung Bambang, karena sektor pertanian kita masih tradisional kurang sentuhan teknologi. Sehingga produktivitasnya rendah. “Petani kita masih konvensional, bagaimana produktivitasnya bisa bagus,” sambungnya.

Dan, tambah Bambang, meski saat ini banyak teknologi yang masuk ke Indonesia tapi karena ribetnya regulasi menjadikan teknologi pertanian di Indonesia tidak berkembang. “Intinya di regulator, di sini berarti Kementerian Pertanian. Tapi panjangnya mata rantai regulasi menjadikan teknologi pertanian tidak jalan,” tambahnya.

Harapannya setelah sejumlah kelengkapan regulasinya disetujui dan diundangkan, Indonesia bisa merealisasikan tanaman biotek. “Petani kita harus diberi pilihan benih yang menguntungkan bagi usaha tani mereka. Salah satunya adalah dengan penyediaan benih tanaman biotek. Jangan membiarkan mata menguras bangsa ini untuk membeli produk makanan bioteknologi dan petani manfaat luar negeri. Petani Indonesia harus diberi kesempatan yang sama untuk meningkatkan produksi dan memperoleh keuntungan yang tinggi,” tegas Bambang.


Sementara itu, Parulian Hutagaol dari IPB, menambahkan bahwa tanpa dukungan teknologi pertanian di Indonesia tidak akan lebih maju. Sebut saja, jika Indonesia ingin memenuhi kebutuhan beras tanpa impor maka perlu tambahan lahan sawah seluas 1,5 juta Hektar. Ekstensifikasi hampir tidak mungkin dilakukan di Pulau Jawa, sedangkan di luar Jawa meskipun lahan tersedia biayanya sangat mahal. Jalan satu-satunya harus dengan teknologi, dan Indonesia mempunyai potensi besar dalam bidang bioteknologi.

“Status Global Komersialisasi Tanaman RG/Biotek: 2017” dari ISAAA dan studi pelengkap tentang “Tanaman Rekayasa Genetika (RG): Dampak Sosial-Ekonomi dan Lingkungan Global pada 1996-2016” dari PG Economics dan– membahas mengenai terus meluasnya adopsi global tanaman bioteknologi, dampak sosial-ekonomi dan lingkungan yang signifikan, yang dirasakan oleh petani dan masyarakat di seluruh dunia.


"GM tanaman menawarkan manfaat yang besar bagi kesehatan dan lingkungan, manusia dan hewan, dan memberikan kontribusi untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi petani dan masyarakat. Untuk itu, Indonesia harus segera mengadopsi Tanaman Biotek,” ujarnya.

“Produksi tanaman biotek generasi terbaru termasuk apel dan kentang yang tahan dari kerusakan, nanas manis super yang diperkaya antosianin, meningkatkan biomassa jagung dan tongkol jagung yang mengandung amilosa tinggi, serta kedelai yang dimodifikasi kandungan minyaknya, dikombinasikan dengan persetujuan komersialisasi untuk tebu tahan serangga memberikan lebih banyak ragam peluang bagi konsumen dan produsen makanan,” imbuhnya.

Laporan ISAAA tersebut menunjukkan area global tanaman biotek meningkat pada 2017 sebesar 3% atau setara dengan 4,7 juta hektar. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh profitabilitas yang lebih besar yang berasal dari harga komoditas yang lebih tinggi, peningkatan permintaan pasar baik domestik dan internasional, dan keberadaan teknologi benih yang tersedia. Semakin banyak negara-negara berkembang yang mengadopsi tanaman biotek.

Sekarang ini, total ada 19 negara termasuk India, Pakistan, Brazil, Bolivia, Sudan, Meksiko, Kolombia, Vietnam, Honduras, dan Bangladesh yang telah meningkatkan area tanaman biotek. Hal ini mendorong petani untuk mengadopsi bioteknologi bagi produksi pangan. Dimulai dari beberapa tahun terakhir, luasan area tanaman biotek di negara-negara berkembang kini mencapai 53% dari total keseluruhan area tanaman biotek.

Dari tahun 1996-2016, PG Economics melaporkan tanaman biotek menghasilkan keuntungan ekonomi sebesar $186,1 miliar bagi sekitar 17 juta petani. Banyak di antara pelaku pertanian adalah perempuan, petani kecil yang bertanggung jawab atas mata pencaharian keluarga. "Kerawanan pangan global telah menjadi masalah besar di negara-negara berkembang. Sekitar 108 juta orang yang hidup di negara-negara yang terkena dampak krisis pangan, berisiko mengalami kerawanan pangan," ujar Graham Brookes, Direktur PG Economics dan rekan penulis laporan dampak sosioekonomi dan lingkungan.



"Kami telah melihat lebih dari 20 tahun sebagai adopsi tanaman biotek di negara berkembang telah memberikan kontribusi untuk kinerja yang lebih tinggi, produksi yang lebih aman, dan meningkatkan pendapatan sangat berkontribusi bagi penurunan angka kemiskinan, kelaparan dan kekurangan gizi," tambahnya.

Studi PG Economics tersebut juga menunjukkan langkah besar telah dilakukan demi mengurangi jejak (footprint) pertanian serta dalam memitigasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Studi terbaru menyoroti bagaimana pemanfaatan biotek di bidang pertanian yang terus berkontribusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Digabungkan dengan catatan 189,8 juta hektar tanaman biotek yang ditanam secara global, adopsi tanaman biotek yang menawarkan sifat-sifat unggul kualitas nutrisi, dapat membantu mengimbangi penurunan kandungan nutrisi akibat dampak perubahan iklim pada tanaman tertentu.

Aspek lain yang mendorong peningkatan mutu nutrisi pangan terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian pemerintah seperti pada komoditas padi, pisang, kentang, gandum, buncis, kacang polong dengan sifat kualitas gizi yang bermanfaat bagi produsen makanan dan konsumen di negara-negara berkembang.

Suatu studi menunjukkan bahwa perubahan iklim sangat berpeluang untuk mengurangi kandungan protein, zink dan zat besi dari tanaman pokok, menyebabkan 1,4 miliar anak-anak memiliki risiko kekurangan zat besi utama pada tahun 2050. Untuk tahun 2017, ISAAA juga melaporkan bahwa terdapat peningkatan dalam ketersediaan dan produktivitas buah dan sayuran biotek. Dua generasi kentang Innate® telah disetujui di AS dan Kanada.

Pertama, kentang dengan sifat memar dan kecokelatan yang berkurang dan kandungan akrilamida yang lebih rendah. Kedua, kentang dengan sifat-sifat ini ditambah kandungan gula pereduksi yang lebih rendah, dan tahan penyakit busuk daun. Produk lain adalah apel Arctic® yang tidak mudah berubah kecokelatan (di Amerika Serikat) dan terong Bt (di Bangladesh). Ini semua adalah contoh produk yang bermanfaat untuk konsumen dan lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar